KE INSTAGRAM KAMI YUK BANYAK KONTEN MENARIK?
Oleh: Rodiah, S.Pd.I; Zuriana, S.Pd.I; dan Ridi Widi Astuti, S.TP
Diposting pada: Senin, 29 Agustus 2022
Bullying, membully, dibully, kata yang sudah tak asing di telinga kita pada zaman sekarang. Bullying berasal dari bahasa Inggris kata bully artinya suatu kata yang mengacu pada pengertian gertakan, mengertak, atau menganggu yang mengacu pada pengertian adanya ancaman yang dilakukan seseorang terhadap orang lain atau pelaku terhadap korban yang menimbulkan gangguan psikis bagi korbanya berupa stres, trauma yang muncul dalam bentuk gangguan fisik, atau psikis atau keduanya (Kharis, 2019).
Bullying adalah adanya bentuk-bentuk perilaku kekerasan yang dilakukan dengan perbuatan sengaja dimana terjadi pemaksaan, perbuatan secara psikologis ataupun fisik terhadap sesorang atupun sekelompok orang yang lebih lemah, oleh seorang atau sekelompok orang yang merasa memiliki suatu kekuasaan (Zakiyah, 2017).
Bullying merupakan kasus serius yang sering terjadi di Indonesia, baik dalam dunia pendidikan, kerja, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Tindakan ini tidak hanya berdampak buruk pada korban, tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak kondusif di mana tempat terjadinya pembullyan tersebut. Dari banyak kasus di Indonesia, bullying lebih banyak terjadi di dunia Pendidikan, yakni di sekolah. Mengapa anak-anak yang sedang menimba ilmu pengetahuan justru melakukan perbuatan tercela?
Banyak hal yang menyebabkan terjadinya bullying. Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah seperti orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stress, agresi, dan permusuhan. Hal tersebut menyebabkan anak melampiaskan emosi dan perasaan tertekan tersebut kepada orang lain dengan cara melakukan bullying.
Di sekolah, sering kali kepala sekolah dan guru mengabaikan tindakan bullying ini. Memang hal ini menjadi dilema bagi pihak sekolah, khususnya guru. Ketika guru melihat siswa melakukan tindakan yang mengarah ke bullying, guru pun berusaha menegur dan bahkan mengambil langkah tegas saat perbuatan tersebut sudah termasuk bullying. Namun, guru justru disalahkan bahkan dilaporkan ke pihak berwajib dan menjadi tersangka. Oleh karena itu, guru lebih memilih diam, meskipun bertentangan dengan hati nurani.
Ketika dalam berteman, anak-anak telah membentuk “geng” atau circle pertemanan, mereka cenderung suka membuktikan kehebatan dan keberanian pada temannya, yang sering kali kehebatan dan keberanian tersebut dilakukan dalam hal keburukan.
Pengaruh media sosial juga sangat besar bagi generasi saat ini. Anak-anak yang sejak Sekolah Dasar (SD) bahkan saat masih di Taman Kanak-Kanank (TK), sudah bisa mengakses media sosial tanpa pengawasan orang tua, sehingga konten atau postingan yang mereka “konsumsi” setiap kali mengakses media sosial diserap begitu saja tanpa filter mana yang baik dan buruk. Sehingga anak-anak meniru apa yang mereka lihat di media sosial.
Berdasarkan beberapa faktor penyebab bullying, dapat disimpulkan bahwa pelaku bullying melakukan perbuatan tercela bahkan keji tersebut karena butuh validasi atau pengakuan diri dari orang lain dengan beranggapan yang ida lakukan adalah benar. Ketika anak tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang di keluarga, ia ingin mendapatkan hal tersebut dari lingkungan pertemanan, sehingga anak menganggap dengan berani melakukan bullying, teman se-gengnya anak tunduk dan sayang terhadap dirinya. Hal tersebut didorong juga ketika anak berteman dengan anak yang memiliki didikan yang salah, maka teman-teman akan mendukung dan bahkan mendorong anak melakukan bullying dan tak jarang ada pernyataan yang sering terlontar dalam pertemanan mereka “jika kamu berani, coba lakukan”, “jika kamu memang hebat, coba buat dia tunduk sama mu”.
Anak yang terus-menerus berada di lingkungan seperti itu dan ditambah pengaruh media sosial, maka muncul ego dalam dirinya ingin mendapatkan validasi dari orang lain agar ia diakui dan ditakuti di lingkungan pertemanannya. Ego butuh validasi ini yang sering kali menghancur jati diri. Semoga para orang tua dan pihak sekolah di mana pun berada, lebih peduli dengan anak-anak.
Validasi yang kamu anggap penting, justru membuat kebaikan dalam dirimu terbanting. Pengakuan diri dari orang lain yang kamu idam-idamkan itu, malah menghancurkan masa depanmu.